بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Bismillaah...
Mari Terbitkan Surga di Beranda Rumah Kita, Dinda
kurasakan air mata ini kembali menyuburkan bunga cinta
di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu, dinda. Semerbaknya begitu
harum, bukan?”
Saat itu. . .
Aku sudah mengenalmu karena memang engkau adalah
tetangga dekatku. Olehku, benar-benar tak terbayang bahwa engkau kan menjadi
kekasih hatiku yang terajut oleh untaian tali pernikahan. Jujur terakui,
wajahmu tak terlalu cantik. Namun begitu, sulit pula bagi lidahku untuk
kututurkan bahwa engkau jelek rupa. Biasa saja. Bagimu, make-up tak begitu
penting. Itu kuketahui karena engkau memang tak pernah memoleskannya di
wajahmu.
Aku dan Keputusanku…
Engkau adalah wanita sederhana. Iya, wanita sederhana,
pintar, tak banyak bicara. Engkaulah wanita yang bersahaja. Terlihat dewasa,
pula. Kesederhanaan dan kesahajaan yang engkau peragakan lah yang justru terasa
mengusik hati ini. Benar, tak bisa kupungkiri. Tak bisa kututupi. Akhirnya,
nyaliku terpercik hebat lalu menghujankan sebuah keputusan. Kupilih engkau
menjadi permaisuriku.
Sejenak Tentangmu…
Engkau, dinda, bukanlah keturunan orang berpangkat,
juga bukan keturunan ningrat. Aku tak peduli. Raga yang terbalut kain-kain
penutup aurat dan jiwa yang terpaut akhirat yang kuingini. Terlebihi terpolesi
ilmu syar’i. Tekadku sudah bulat. Kupinang engkau dalam waktu dekat.
Engkau, dinda, saat itu baru lulus SMA. Tak kusangka
kalau engkau menerima lamaranku dengan tangan terbuka. Bahkan untuk menerimaku,
engkau pangkas keinginanmu mencicipi bangku kuliah. Semua gurumu begitu
menyayangkan keputusanmu karena engkau termasuk siswa yang cerdas. Aku tak tahu,
mengapa engkau memilihku menjadi pangeran yang akan menduduki singgasana
hatimu, dinda. Sujud syukurku pada Allah ‘azzawajallah. Alhamdulillah.
Percikan Bahagia di Hari Pernikahan…
Dan hari itu pun kita menikah. Terbitlah kebahagiaan
yang menyelimuti sanubari. Sempurnalah mekar indah pucuk asmara. Telah tiba
saatnya biduk harus berlayar di samudera kehidupan. Terhempas sudah karang-karang
penantian yang bertengger di taman hati.
Adakah
jalinan yang indah selain jalinan dan untaian tali pernikahan?
Adakah letupan-letupan cinta yang lebih menenteramkan
hati sepasang muda-mudi selain dalam ikatan ini?
Adakah hubungan yang lebih menabung kebaikan selain
hubungan sah secara syar’i?
Bak sejuknya tanah gersang yang kembali subur setelah
dentuman hujan, bak cerahnya dedaunan muda yang indah menghijau bersemi, bak
syahdunya kicauan burung menyambut mentari di pagi nan cerah, begitulah pula
datangnya kuncup bahagia di hati.
Aku Begitu Kagum. . .
Semua terasa mudah dan indah, dinda. Engkaupun
merasakan hal yang sama, bukan? Saat itu, usiaku 25 tahun dan engkau baru 19
tahun. Memang masih terlalu muda untuk kalangan umum namun engkau berani
mengambil keputusan itu. Engkau berani mengakhiri masa lajangmu di usia dini.
Dan tahukah engkau, dinda, itu membuatku semakin kagum padamu.
Dinda tersayang.
Semenjak menikah hingga saat ini, kekagumanku padamu
terpupuk subur. Kudapati engkau belum pernah mengeluh tentang keadaan yang kita
alami bersama. Padahal engkau sendiri tahu bahwa penghasilanku tak seberapa,
kadangkala tak seimbang antara pemasukan dan pengeluaran. Begitu sering kita
harus mengikis beberapa keinginan karena kita tak sanggup menggapainya. Benar-benar tak pernah terlihat
kristal bening menetes dari pelupuk matamu karena hal itu, dinda.
Tetesan Air Mata di Kasur Cinta..
Masih teringatkah olehmu, dinda, saat pertama kali kita
arungi bahtera ini di sebuah kontrakan mungil? Sama sekali kita tak punya
apa-apa, bahkan alas tidur pun tak ada. Tetapi engkau benar-benar membuktikan
kecerdikanmu, dinda.
Seonggok pakaian kita yang masih tersimpan dalam tas
usang, kau keluarkan. Engkaupun melipatnya lalu engkau tumpuk dua hingga tiga
helai. Engkau kemudian mengaturnya berjejeran. Diatas barisan baju itu, engkau
bentangkan jilbab lebarmu. Jadilah kasur cinta ala istriku terkasih.
Sambil
menyungging senyum manismu, engkau mempersilahkan aku mengempukkan diri di
kasur cinta kita. Kutatap wajah ayumu, dinda. Kufokuskan mataku memandang hitam
bola matamu sambil membalasmu dengan senyumku. Beberapa detik kemudian,
kurasakan getaran hebat berkecamuk di hati. Dan, dan, dan berlinanglah air mata
haruku. Aku cinta. Aku cinta. Aku mencintaimu, dinda.
Saatnya Engkau Melahirkan..
Bersamamu, wahai permaisuri hatiku, tak terasa begitu
cepat bergulirnya waktu. Dengan penuh kasih, selalu indah nan syahdu terlalui
hari-hari,dinda. Kekurangan materi yang terkadang menghantui seakan-akan
bukanlah beban manakala kita senantiasa menebalkan keikhlasan di hati. Denganmu,
dinda, begitu banyak pelajaran yang kupetik.
Masih ingatkah ketika usia pernikahan kita beranjak
setahun, saat tujuh bulan usia kehamilanmu, dinda? Aku begitu panik ketika
engkau mengalami pendarahan. Tapi engkau begitu tenang tak gugup. Dari keningmu
yang berkerut dan nafasmu yang tertahan, aku tahu engkau sedang menahan sakit
yang luar biasa. Segera saja kubawa engkau ke bidan. Dari pemeriksaannya, itu
adalah tanda-tanda bahwa engkau akan melahirkan.
Jam 12 malam, saat manusia tengah asyik terlelap, anak
pertama kita lahir dengan prematur. Ah, betapa aku bahagia, dinda. Berulang
kali, kukecup keningmu dengan kecupan sayang penuh mesra.
Segelas Air Putih..
Aku melihat wajahmu melemas. Engkau begitu lelah.
Secara perlahan, kau bisiki aku dengan berkata:
“abii…, aku lapeer.”
Tersentak aku mendengarnya, dinda. Ya, seharian tadi
engkau tak makan karena kesakitan sejak kemarin. Sore tadi aku hanya membeli
sebungkus roti untukmu namun sudah kulahap habis karena tadi engkau tak nafsu
makan. Kini tak ada roti atau jajanan lain. Mau beli, jam segini semua toko dan
warung sudah tutup.
Alhamdulillah, ada segelas air putih yang dibawakan
bidan. Kusuguhkan sendiri untukmu agar kemesraan kita tetap terjalin dan
barangkali letihmu akan terkikis. Perlahan, engkau pun meneguknya, dinda. Tak
ada tuntutan dan keluhan sedikit pun yang terlontar dari lisanmu. Engkau
sungguh mengagumkan, dinda. Aku memuji Allah atas anugerah ini.
Kesahajaanmu benar-benar menggelombangkan air mataku.
Melihat semburat bahagia terbit di wajahmu, kembali kurasakan tetesan bening
bak kristal itu mengalir syahdu dari pelupuk mataku. Seiring menyusuri lembah
hidungku, kurasakan air mata ini kembali menyuburkan bunga cinta di taman hati.
Kupersembahkan indah mekarnya untukmu, dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?
Yah, bayi yang menjadi permata hati kita yan selamat
dan nampak sehat telah membuatmu lupakan lapar dan dahaga.
Engkaulah Penyejuk Hati..
Tahun berganti dan engkau tak pernah berubah. Hampir
sepuluh tahun kita bersama dalam bahtera yang penuh dengan kesederhanaan tetapi
kita tak pernah lontarkan keluh. Engkau tak pernah tuntut dunia dariku, dinda.
Tak pernah minta ini. Tak pernah minta itu. Beli pakaian saja mungkin tiga atau empat tahun
sekali. Perhiasan? Tak pernah engkau mengenalnya. Bagimu, bisa memenuhi
kebutuhan saja tanpa berhutang sudah lebih dari cukup.
Sungguh, dinda. Aku amat bahagia mengenalmu sosokmu.
Aku memuji Allah atas anugerah ini. Engkaulah permata sekaligus belahan jiwa
yang menyejukkan hati. Mata akan teduh memandangmu. Engkaulah sebenarnya
perhiasan itu, dinda. Semoga engkau selalu tegar menemani hari-hariku hingga
kita jelang negeri penuh cinta nan abadi di akhirat nanti.
***Kutipan : Sejatinya, ini adalah kisah nyata yang tertera dalam
buku “Bila Pernikahan Tak Seindah Impian”, penerbit Mumtaza, Solo, 2007, hal
118-122. Penulis buku tersebut yaitu
saudara Muhammad Albani (hafidzahullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
b, i, a