
Anak, adalah seseorang yang belum mencapai
umur 18 tahun menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Pada usia inilah pribadi mereka dengan sendirinya
akan membentuk watak, sikap dan juga perilaku. Lingkungan keluarga dan
lingkungan sekolah merupakan elemen yang paling penting dan paling berpengaruh
untuk membentuk pribadi anak. Dari sini mereka akan diarahkan menjadi Pribadi
yang sesuai dengan harapan kedua orang tuanya. Namun terkadang tanpa kita
sadari banyak hal yang memberi pengaruh buruk bagi tumbuh kembang si anak
sehingga menjadikan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan anak menjadi
terbengkalai.
Di zaman serba modern saat ini, kebutuhan
hidup yang semakin banyak, gaya hidup yang semakin tinggi membuat seorang ayah
bisa bekerja dari pagi hingga malam. Sehingga waktu untuk bertemu dengan anak menjadi
hilang. Saat Pergi bekerja anak masih terlelap tidur, sementara disaat pulang
bekerja biasanya anak sudah tertidur dan si ayah biasanya terlalu lelah untuk
sekedar melihat buah hatinya. Begitu juga dengan para wanita, Ibu-Ibu zaman
sekarang sibuk dengan tuntutan harus mengatur uang belanja seirit mungkin,
mengatur pengeluaran sekecil mungkin sementara suaminya hanya bisa memberinya
nafkah seadanya, sering kali hanya pas-pas makan, ini yang menjadikan si Ibu
harus mencari pekerjaan tambahan di luar rumah demi menutupi kebutuhan
keluarganya.
Waktu yang seharusnya dicurahkan untuk
memantau tumbuh kembang anak, bermain dengan anak, mengajari anak untuk
bersikap dan berperilaku menjadi hilang. Anak menjadi terbengkalai dan
tergadaikan hak-haknya. Bahkan bagi keluarga dengan tingkat ekonomi yang mapan
juga tak jarang kita temukan seperti ini kondisinya. Orang tua lebih disibukkan
dengan pekerjaan diluar rumah.
Banyak dari orang tua yang tidak memenuhi
hak-hak anak, tak jarang bahkan orang tuanya sendiri yang dengan tega
mengeksploitasinya. Apapun bentuknya atau apapun alasannya, Anak-anak tetap
tidak layak untuk turun dan berkeliaran di jalan,, mengamen, menjual koran,
apalagi meminta-minta di jalan. Pemandangan miris ini sangat sering kita jumpai
di jalan-jalan. Anak-Anak yang waktu dan kebebasan seharusnya dicurahkan untuk
belajar dan bersekolah kini di rampas untuk sekedar membantu orang tua mencari
nafkah. Ini yang menyebabkan anak menjadi tertekan dan merasa terlalu keras
bekerja di usia perkembangannya. Akibatnya anak menjadi depresi dan kabur dari
rumah. Padahal berbagai macam kejahatan selalu mengintai mereka di jalanan.
Mulai dari kekerasan, penculikan, pencabulan, bahkan mutilasi.
Dalam kasus lain yang sering ditemukan juga
adalah Orang Tua yang sering bertengkar dan Perceraian Orang Tua. Ini juga
menyebabkan kondisi psikis dan mental si anak jadi terguncang. Dan selalu dalam
hal ini anak-anak lah yang menjadi korban. Orang Tua yang menjadi elemen paling
utama dalam kehidupan tumbuh kembang si Anak sudah melupakan kepentingan dari
anak itu sendiri. Akibatnya anak akan mencari tempat yang menurutnya bisa
membuat dirinya merasa lebih nyaman dan bebas, jauh dari permasalahan keluarga,
salah satunya adalah di jalanan. Dan ini bukan lagi cerita baru yang terjadi di
lingkungan sekitar kita terutama di kota-kota besar, kota dengan intensitas
pertumbuhan yang luar biasa cepat.
Selain itu masalah lain yang menyangkut anak
juga banyak terjadi di sekolah. Guru yang seharusnya menjadi seorang pendidik,
mengajari anak-anak untuk menjadi manusia yang berguna bagi masa depan dan
generasi penerus bangsa, tak jarang juga berlaku kasar dan suka main tangan.
Hal ini sudah banyak terjadi saat ini. Banyak laporan dari anak yang mengatakan
bahwa disekolah gurunya suka main kasar bila sudah marah, tak jarang menampar
dan main tangan dengan anak. Itu yang membentuk jiwa dan mental anak juga
menjadi mental yang kasar dan pelawan. Itu yang akan anak-anak rekam didalam
memorinya hingga dewasa, dan akibatnya perlakuan itu yang menjadi contoh yang
juga akan ia lakukan kepada anak-anaknya kelak.
Terkadang guru tidak mau melihat latar
belakang dari anak muridnya, entah itu dari keluarga yang orang tuanya bercerai
atau keluarga yang himpitan ekonominya lemah, atau mungkin ada anak muridnya
yang sudah tidak memiliki orang tua. Seharusnya perlakuan-perlakuan tersebut
ada pembedanya. Dari latar belakang tersebutlah guru harus belajar bagaimana
cara menyiklapi perilaku anak di sekolah. Bukannya malah langsung main pukul
bila salah, atau terkadang ada permasalahan yang terjadi pada anak entah itu
bandel atau tidak membayar uang SPP, ironisnya guru tersebut malah mengumumkannya
menggunakan pengeras suara yang ada disekolah. Sehingga satu sekolah menjadi
tau yang mana satu orangnya yang sering membuat masalah. Perlakuan-perlakuan
ini lah yang menyebabkan trauma pada anak. Sehingga anak menjadi minder, tidak
mau bergaul dengan teman sebayanya bahkan banyak yang tidak mau lagi masuk
sekolah karena malu masalahnya sudah diketahui seisi sekolah.
Dibelahan dunia manapun,, disudut kota
manapun, Hak-Hak Anak tetap melekat dalam diri Anak tersebut. Seharusnya ini
yang menjadi point penting bagi orang dewasa untuk berperilaku terhadap
anak-anak.
Konvensi
Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa
atau dalam bahasa Inggrisnya United
Nations Convention on the Rights of the Child tahun 1989 yaitu konvensi internasional yang
mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kulural anak-anak. Dalam konvensi
ini sudah dijelaskan 10 Hak Anak Dunia, yang mencakup Hak untuk Bermain, Hak
untuk mendapatkan Pendidikan, Hak untuk mendapatkan Perlindungan, Hak untuk
mendapatkan Nama (Identitas), Hak untuk mendapatkan status Kebangsaan, Hak
untuk mendapatkan Makanan, Hak untuk mendapatkan akses Kesehatan, Hak untuk
mendapatkan Rekreasi, Hak untuk mendapatkan Kesamaan dan Kesetaraan dan Hak
untuk memiliki Peran dalam Pembangunan.
Setiap Anak berhak untuk diperhatikan kepentingan hidupnya. Seharusnya
orang dewasa bisa lebih memahami pentingnya pemenuhan Hak-Hak tersebut bagi
tumbuh kembang anak.
“Anak-Anak
selalu menjadi korban dari keadaan”.
Keadaan Ekonomi yang memprihatinkan, keadaan
orang tua yang tidak mengerti tentang pemenuhan Hak-Hak Anak, Keadaan
Lingkungan yang tidak Ramah Anak, Juga Keadaan Hukum dan Pemerintah yang Tidak
PRO terhadap Anak.
Padahal dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 “Fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara“, seharusnya ini tidak hanya
dijadikan slogan dan aturan belaka. Tetapi akan lebih bermakna jika langsung
dimplementasikan pada tindakan yang nyata oleh pihak-pihak terkait. Sehingga
keberadaan anak-anak (terlantar) dan anak-anak dijalan dapat benar-benar
terlindungi akan hak-hak mereka.
Wacana untuk menjadikan beberapa kota di Indonesia
menjadi “Kota Layak Anak” malah terlihat lucu bila dihadapkan dengan segudang
permasalahan yang terpapar di depan kita tadi. Bagaimana mau mencanangkan
sebuah kota menjadi Kota Layak Anak, bila permasalahan seperti ini tak pernah selesai,
tak pernah ada habisnya. Semakin hari semakin banyak anak-anak yang turun ke jalan,
entah itu paksaan akan keadaan ekonomi, ataupun paksaan dari Orang tua.
Semetara Pemerintah dan Pihak-pihak terkait tidak mengambil langkah tegas untuk
mengatasi masalah-masalah ini.
Bila aparat pemerintah, Satpol PP di tiap kali
kesempatan hanya melakukan sweeping dijalan, kemudian menggelandang semua
anak-anak dan pengemis dijalan untuk dibawa ke Polres, lalu beberapa Jam
berikutnya sudah dibolehkan pulang lagi, mereka hanya akan kembali lagi ke
Jalan, mengamen lagi, menjajakan koran lagi, menjadi peminta-minta lagi. Apa
ini hanya sekedar bentuk untuk memperlihatkan bahwa Pemerintah Bekerja??
Pada kenyataannya tidak pernah ada solusi
tegas, tidak pernah ada langkah-langkah yang mengikat untuk menahan mereka agar
tidak kembali lagi ke Jalan. Kebijakan dan aturan hanya sebagai penghias
tambahan dari agenda-agenda yang dibuat pemerintah di tiap tahunnya.
Alangkah lebih baik melakukan
perbaikan-perbaikan dulu pada sistem-sistem di dalam pemerintahan, membenahi
dulu pihak-pihak terkait yang bekerja di dalamnya untuk pemenuhan hak-hak anak
menjadi lebih baik.
Bila tidak, Sebutan sebagai “Kota Layak Anak”
hanya pantas ada di kepala Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang bekerja di Pemerintahan
yang menjadikan ini menjadi sebuah agenda, belum patut untuk dikeluarkan, apalagi
ditetapkan.
~ Citra Sari
~ 31 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
b, i, a