Senin, 16 September 2013

Senyum, Tawa Riang dan Hak Mereka Hilang

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم





Anak, adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada usia inilah pribadi mereka dengan sendirinya akan membentuk watak, sikap dan juga perilaku. Lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah merupakan elemen yang paling penting dan paling berpengaruh untuk membentuk pribadi anak. Dari sini mereka akan diarahkan menjadi Pribadi yang sesuai dengan harapan kedua orang tuanya. Namun terkadang tanpa kita sadari banyak hal yang memberi pengaruh buruk bagi tumbuh kembang si anak sehingga menjadikan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan anak menjadi terbengkalai.

Di zaman serba modern saat ini, kebutuhan hidup yang semakin banyak, gaya hidup yang semakin tinggi membuat seorang ayah bisa bekerja dari pagi hingga malam. Sehingga waktu untuk bertemu dengan anak menjadi hilang. Saat Pergi bekerja anak masih terlelap tidur, sementara disaat pulang bekerja biasanya anak sudah tertidur dan si ayah biasanya terlalu lelah untuk sekedar melihat buah hatinya. Begitu juga dengan para wanita, Ibu-Ibu zaman sekarang sibuk dengan tuntutan harus mengatur uang belanja seirit mungkin, mengatur pengeluaran sekecil mungkin sementara suaminya hanya bisa memberinya nafkah seadanya, sering kali hanya pas-pas makan, ini yang menjadikan si Ibu harus mencari pekerjaan tambahan di luar rumah demi menutupi kebutuhan keluarganya.

Waktu yang seharusnya dicurahkan untuk memantau tumbuh kembang anak, bermain dengan anak, mengajari anak untuk bersikap dan berperilaku menjadi hilang. Anak menjadi terbengkalai dan tergadaikan hak-haknya. Bahkan bagi keluarga dengan tingkat ekonomi yang mapan juga tak jarang kita temukan seperti ini kondisinya. Orang tua lebih disibukkan dengan pekerjaan diluar rumah.

Banyak dari orang tua yang tidak memenuhi hak-hak anak, tak jarang bahkan orang tuanya sendiri yang dengan tega mengeksploitasinya. Apapun bentuknya atau apapun alasannya, Anak-anak tetap tidak layak untuk turun dan berkeliaran di jalan,, mengamen, menjual koran, apalagi meminta-minta di jalan. Pemandangan miris ini sangat sering kita jumpai di jalan-jalan. Anak-Anak yang waktu dan kebebasan seharusnya dicurahkan untuk belajar dan bersekolah kini di rampas untuk sekedar membantu orang tua mencari nafkah. Ini yang menyebabkan anak menjadi tertekan dan merasa terlalu keras bekerja di usia perkembangannya. Akibatnya anak menjadi depresi dan kabur dari rumah. Padahal berbagai macam kejahatan selalu mengintai mereka di jalanan. Mulai dari kekerasan, penculikan, pencabulan, bahkan mutilasi.

Dalam kasus lain yang sering ditemukan juga adalah Orang Tua yang sering bertengkar dan Perceraian Orang Tua. Ini juga menyebabkan kondisi psikis dan mental si anak jadi terguncang. Dan selalu dalam hal ini anak-anak lah yang menjadi korban. Orang Tua yang menjadi elemen paling utama dalam kehidupan tumbuh kembang si Anak sudah melupakan kepentingan dari anak itu sendiri. Akibatnya anak akan mencari tempat yang menurutnya bisa membuat dirinya merasa lebih nyaman dan bebas, jauh dari permasalahan keluarga, salah satunya adalah di jalanan. Dan ini bukan lagi cerita baru yang terjadi di lingkungan sekitar kita terutama di kota-kota besar, kota dengan intensitas pertumbuhan yang luar biasa cepat.

Selain itu masalah lain yang menyangkut anak juga banyak terjadi di sekolah. Guru yang seharusnya menjadi seorang pendidik, mengajari anak-anak untuk menjadi manusia yang berguna bagi masa depan dan generasi penerus bangsa, tak jarang juga berlaku kasar dan suka main tangan. Hal ini sudah banyak terjadi saat ini. Banyak laporan dari anak yang mengatakan bahwa disekolah gurunya suka main kasar bila sudah marah, tak jarang menampar dan main tangan dengan anak. Itu yang membentuk jiwa dan mental anak juga menjadi mental yang kasar dan pelawan. Itu yang akan anak-anak rekam didalam memorinya hingga dewasa, dan akibatnya perlakuan itu yang menjadi contoh yang juga akan ia lakukan kepada anak-anaknya kelak.

Terkadang guru tidak mau melihat latar belakang dari anak muridnya, entah itu dari keluarga yang orang tuanya bercerai atau keluarga yang himpitan ekonominya lemah, atau mungkin ada anak muridnya yang sudah tidak memiliki orang tua. Seharusnya perlakuan-perlakuan tersebut ada pembedanya. Dari latar belakang tersebutlah guru harus belajar bagaimana cara menyiklapi perilaku anak di sekolah. Bukannya malah langsung main pukul bila salah, atau terkadang ada permasalahan yang terjadi pada anak entah itu bandel atau tidak membayar uang SPP, ironisnya guru tersebut malah mengumumkannya menggunakan pengeras suara yang ada disekolah. Sehingga satu sekolah menjadi tau yang mana satu orangnya yang sering membuat masalah. Perlakuan-perlakuan ini lah yang menyebabkan trauma pada anak. Sehingga anak menjadi minder, tidak mau bergaul dengan teman sebayanya bahkan banyak yang tidak mau lagi masuk sekolah karena malu masalahnya sudah diketahui seisi sekolah.

Dibelahan dunia manapun,, disudut kota manapun, Hak-Hak Anak tetap melekat dalam diri Anak tersebut. Seharusnya ini yang menjadi point penting bagi orang dewasa untuk berperilaku terhadap anak-anak.

Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dalam bahasa Inggrisnya United Nations Convention on the Rights of the Child  tahun 1989 yaitu konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kulural anak-anak. Dalam konvensi ini sudah dijelaskan 10 Hak Anak Dunia, yang mencakup Hak untuk Bermain, Hak untuk mendapatkan Pendidikan, Hak untuk mendapatkan Perlindungan, Hak untuk mendapatkan Nama (Identitas), Hak untuk mendapatkan status Kebangsaan, Hak untuk mendapatkan Makanan, Hak untuk mendapatkan akses Kesehatan, Hak untuk mendapatkan Rekreasi, Hak untuk mendapatkan Kesamaan dan Kesetaraan dan Hak untuk memiliki Peran dalam Pembangunan.  Setiap Anak berhak untuk diperhatikan kepentingan hidupnya. Seharusnya orang dewasa bisa lebih memahami pentingnya pemenuhan Hak-Hak tersebut bagi tumbuh kembang anak.

“Anak-Anak selalu menjadi korban dari keadaan”.
Keadaan Ekonomi yang memprihatinkan, keadaan orang tua yang tidak mengerti tentang pemenuhan Hak-Hak Anak, Keadaan Lingkungan yang tidak Ramah Anak, Juga Keadaan Hukum dan Pemerintah yang Tidak PRO terhadap Anak.

Padahal dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara“, seharusnya ini tidak hanya dijadikan slogan dan aturan belaka. Tetapi akan lebih bermakna jika langsung dimplementasikan pada tindakan yang nyata oleh pihak-pihak terkait. Sehingga keberadaan anak-anak (terlantar) dan anak-anak dijalan dapat benar-benar terlindungi akan hak-hak mereka.

Wacana untuk menjadikan beberapa kota di Indonesia menjadi “Kota Layak Anak” malah terlihat lucu bila dihadapkan dengan segudang permasalahan yang terpapar di depan kita tadi. Bagaimana mau mencanangkan sebuah kota menjadi Kota Layak Anak, bila permasalahan seperti ini tak pernah selesai, tak pernah ada habisnya. Semakin hari semakin banyak anak-anak yang turun ke jalan, entah itu paksaan akan keadaan ekonomi, ataupun paksaan dari Orang tua. Semetara Pemerintah dan Pihak-pihak terkait tidak mengambil langkah tegas untuk mengatasi masalah-masalah ini.

Bila aparat pemerintah, Satpol PP di tiap kali kesempatan hanya melakukan sweeping dijalan, kemudian menggelandang semua anak-anak dan pengemis dijalan untuk dibawa ke Polres, lalu beberapa Jam berikutnya sudah dibolehkan pulang lagi, mereka hanya akan kembali lagi ke Jalan, mengamen lagi, menjajakan koran lagi, menjadi peminta-minta lagi. Apa ini hanya sekedar bentuk untuk memperlihatkan bahwa Pemerintah Bekerja??

Pada kenyataannya tidak pernah ada solusi tegas, tidak pernah ada langkah-langkah yang mengikat untuk menahan mereka agar tidak kembali lagi ke Jalan. Kebijakan dan aturan hanya sebagai penghias tambahan dari agenda-agenda yang dibuat pemerintah di tiap tahunnya.
Alangkah lebih baik melakukan perbaikan-perbaikan dulu pada sistem-sistem di dalam pemerintahan, membenahi dulu pihak-pihak terkait yang bekerja di dalamnya untuk pemenuhan hak-hak anak menjadi lebih baik.

Bila tidak, Sebutan sebagai “Kota Layak Anak” hanya pantas ada di kepala Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang bekerja di Pemerintahan yang menjadikan ini menjadi sebuah agenda, belum patut untuk dikeluarkan, apalagi ditetapkan.

~ Citra Sari ~ 31 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

b, i, a