
Setiap orang pasti menginginkan
berada pada akhir kehidupan yang baik (husnul khotimah), bukan pada yang buruk
(su’ul khotimah). Namun sudah sering kita saksikan ada beberapa orang yang mati
dengan sangat tragis, sangat mengerikan yang mungkin kita belum pernah melihat
sebelumnya. Su’ul khotimah inilah yang patut kita waspadai dan berusaha untuk
tidak berada di ujung kehidupan semacam itu.
Saudaraku, perlu kiranya engkau
tahu bahwa su’ul khotimah (mati dalam keadaan buruk) memiliki sebab yang
seharusnya setiap orang menjauhinya. Sebab utama adalah karena berpaling dari
agama Allah. Hal ini dapat berupa berpaling dari istiqomah, lemahnya iman,
rusaknya i’tiqod (keyakinan), dan terus menerus dalam maksiat.
Beberapa Kisah Akhir Hidup yang Begitu Jelek
Ada suatu kisah yang menunjukkan
seseorang yang terlalu sibuk dengan dunia sehingga lupa akan akhirat. Lihatlah
bagaimanakah akhir hidupnya.
Ia seorang pedagang kain yang
biasa menjual kain. Tatkala sakratul maut ia bukan menyebut kalimat yang mulia
“laa ilaha illallah”, namun yang ia sebut adalah, “Ini kain baru, ini kain
baru. Ini pas untukmu. Kain ini amat murah.” Akhirnya ia pun mati setelah
mengucapkan kalimat semacam itu. Padahal kalimat terbaik yang diucapkan saat
sakratul maut adalah kalimat laa ilaha illallah.
مَنْ
كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ
الجَنَّةَ
“Barang siapa yang akhir
perkataannya adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu
Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)
Ada juga orang yang kesehariannya
sibuk bermain catur. Ketika sakratul maut, ia diperintahkan untuk menyebut
kalimat “laa ilaha illallah”. Namun apa yang ia katakan kala maut menjemput? Ia
malah mengucapkan, “Skak!” Lalu ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Mati bukan menyebut kalimat tahlil, namun menyebut kata “skak”. Wallahul
musta’an.
Ada pula orang yang kesehariannya
biasa menegak arak (khomr). Ketika maut menjemput, ia ingin ditalqinkan
(dituntun baca kalimat tahlil, laa ilaha illallah). Namun apa yang ia ucapkan?
Ia malah berkata saat sakratul maut, “Mari tuangkan arak untukku, minumlah!”
Lantas ia pun mati dalam keadaan seperti itu. Laa haula quwwata illa billah
‘aliyyil ‘azhim.[1]
Pengaruh Teman Bergaul yang Buruk Semasa Hidup
Ulama tabi’in, Mujahid
rahimahullah berkata, “Barangsiapa mati, maka akan datang di hadapan dirinya
orang yang satu majelis (setipe) dengannya. Jika ia biasa duduk di majelis
orang yang selalu menghabiskan waktu dalam kesia-siaan, maka itulah yang akan
menjadi teman dia tatkala sakratul maut. Sebaliknya jika di kehidupannya ia
selalu duduk bersama ahli dzikir (yang senantiasa mengingat Allah), maka itulah
yang menjadi teman yang akan menemaninya saat sakratul maut.”[2]
Bukti dari perkataan Mujahid di
atas terdapat pada kisah Abu Tholib berikut ini.
لَمَّا
حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ
جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - فَوَجَدَ
عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ
هِشَامٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ
بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ
الْمُغِيرَةِ ، قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ - صلى الله عليه
وسلم - لأَبِى طَالِبٍ « يَا
عَمِّ ، قُلْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ،
كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ
اللَّهِ » . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ
وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى
أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ
، أَتَرْغَبُ عَنْ
مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ
يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - يَعْرِضُهَا
عَلَيْهِ ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ
الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ
أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا
كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ
يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ
"Ketika menjelang wafatnya
Abu Tholib, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya dan ternyata
sudah ada Abu Jahal bin Hisyam dan 'Abdullah bin Abu Umayyah bin Al Mughirah.
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, kepada Abu Tholib,
"Wahai pamanku katakanlah laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang
dengannya aku akan menjadi saksi atasmu di sisi Allah". Maka berkata, Abu
Jahal dan 'Abdullah bin Abu Umayyah, "Wahai Abu Thalib, apakah kamu akan
meninggalkan agama 'Abdul Muthalib?". Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam terus menawarkan kalimat syahadat kepada Abu Tholib dan bersamaan itu
pula kedua orang itu mengulang pertanyaannya yang berujung Abu Tholib pada
akhir ucapannya tetap mengikuti agama 'Abdul Muthalib dan enggan untuk
mengucapkan laa ilaaha illallah.”(HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 24)
Akibat Maksiat dan Godaan Syaithon
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya dosa, maksiat dan syahwat adalah sebab yang dapat menggelincirkan
manusia saat kematiaanya, ditambah lagi dengan godaan syaithon. Jika maksiat
dan godaan syaithon terkumpul, ditambah lagi dengan lemahnya iman, maka sungguh
amat mudah berada dalam su’ul khotimah (akhir hidup yang jelek).”[3]
Agar Selamat dari Su’ul Khotimah
Ibnu Katsir rahimahullah kembali
melanjutkan penjelasannya:
“Su’ul khotimah (akhir hidup yang
jelek)—semoga Allah melindungi kita darinya—tidaklah terjadi pada orang yang
secara lahir dan batin itu baik dalam bermuamalah dengan Allah. Begitu pula
tidak akan terjadi pada orang yang benar perkataan dan perbuatannya. Keadaan
semacam ini tidak pernah didengar bahwa orangnya mati dalam keadaan su’ul
khotimah sebagaimana kata ‘Abdul Haq Al Isybili. Su’ul khotimah akan mudah
terjadi pada orang yang rusak batinnya dilihat dari i’tiqod (keyakinannya) dan rusak
lahiriahnya yaitu pada amalnnya. Su’ul khotimah lebih mudah terjadi pada orang
yang terus menerus dalam dosa besar dan lebih menyukai maksiat. Akhirnya ia
terus menerus dalam keadaan berlumuran dosa semacam tadi sampai maut menjemput
sebelum ia bertaubat.”[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
b, i, a