
Kita rajin
membangun tembok2 penjelasan. Kita bangun tinggi2, kita lindungi diri kita,
hingga kita lupa, kita justeru tidak sempat menyadari boleh jadi di luar sana
ada penjelasan lebih baik. Tidak sadar, tembok itu justeru membuat kita tidak
bisa melihat keseluruhan masalah dengan lebih baik.
Kita rajin
sekali membangun tembok2 penjelasan.
Orang2 yang
sedang jatuh hati misalnya, lantas terus terseret dalam putaran perasaan
tersebut. Dia pada detik pertama, seketika membangun tembok2 penjelasan. Tembok
pertama, merasa itu baik baginya. Tembok kedua, merasa itu sungguh penting dan
spesial. Lantas berdirilah tembok2 lain dengan cepat, semakin tebal, semakin
tinggi. Hingga dia lupa--atau tutup mata, kalau urusan perasaan tersebut
membuatnya kacau balau. Sekolah terabaikan, prestasi pekerjaan menurun,
keluarga dicuekin, teman2 baik tidak ingat lagi.
Tembok2 penjelasan yang
terlanjur berdiri itu mengungkungnya, kiri, kanan, depan belakang. Saat akal
sehat datang, berusaha bilang, hei, di mana baiknya coba? Bukankah ini semua
malah merusak? Bukankah semua ini gombal? Sayangnya akal sehat itu sia-sia.
Temboknya sudah terlalu tebal. Bahkan saat urusan perasaan itu sudah menjurus
buruk sekali baginya, dia tetap merasa baik2 saja. Percaya saja dusta orang
lain, percaya saja semua akan berakhir baik.
Kita rajin
sekali membangun tembok2 penjelasan.
Orang2 yang
pemalas, contoh lainnya, maka kejadiannya pun sama. Pada detik pertama ketika
rasa malas itu tiba, seketika dia membangun tembok2 penjelasan--bahkan tembok2
ngeles, argumen. Tembok pertama yang dia bangun: bisa nanti2 dikerjakan. Tembok
kedua: masih banyak waktu ini. Dan menyusullah tembok2 lain dengan cepat. Waktu
seolah berjalan menyenangkan, semua terasa baik2 saja. Tertipu mentah2. Ketika
akal sehat datang, mungkin dipikirkan beberapa saat, tapi segera dibangun
tembok penjelasan untuk melawannya.
Ketika orang lain menasehati, mungkin
runtuh satu-dua temboknya, tapi dia segera membangun tiga-empat tembok yang
lain. Hingga lupa sudah, kalau orang2 di sekitarnya sedang berlari mengejar
prestasi, dia masih di situ2 saja, dikungkung oleh tembok2 penjelasan milik
dirinya sendiri tentang kemalasan, menunda2 pekerjaan, tidak produktif, tidak
beranjak melakukan sesuatu yang bermanfaat.
Kita rajin
sekali membangun tembok2 penjelasan.
Dalam banyak
kasus, bahkan hampir setiap kasus, kita jago mendirikan tembok2 itu.
Menyalahkan orang lain, menyalahkan situasi, adalah favoritnya. Tidak masalah,
biasa saja, toh orang lain juga begitu, pun termasuk favoritnya. Berleha-leha,
bersantai-santai, berada di situ2 saja, juga variasi tembok penjelasan lainnya.
Maka, setiap kali kalian terjebak dalam situasi yang menurut kalian
rumit, setiap kali kita terpasung oleh situasi yang menurut kita susah jalan
keluarnya, itu sungguh bukan karena memang rumit dan susah, tapi lebih karena
kitalah yang telah membangun tembok2 penjelasan pada detik pertama bertahun2
lalu, berbulan2 lalu, berminggu2 lalu. Dan semua tembok penjelasan itu tentu
menyenangkan bagi kita. Kitalah yang memberikan warna, gambar, corak, agar
selalu menenteramkan diri sendiri--padahal semu.
Maka, solusi
atas masalah ini, akan kembali kepada kita. Apakah kita akan segera
menghancurkan tembok2 itu, meruntuhkannya hingga tidak tersisa, lantas
bergerak, melesat maju, atau kita akan terus terjebak di situ saja. Kita bisa
memilihnya.
By *Tere Liye
Re-Post ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
b, i, a